
"Sebuah tulisan dari Emha Ainun Nadjib atau Mbah Nun (begitu 'kami' biasa memanggil beliau), seseorang yang sangat menginspirasi saya menjalani hidup di dalam kehidupan ini. Tulisan yang tak comot dari http://dhitos.wordpress.com/2006/07/06/nikmatnya-kekalahan/ , semoga bermanfaat"
Setiap kesebelasan negara-negara yang tampil di Piala Dunia, termasuk jutaan suporternya masing-masing, berdoa khusyuk kepada Tuhan agar mereka mendapatkan kemenangan. Saya bertanya, kalau Anda menjadi Tuhan: apa yang terbersit dalam pikiran Anda, dan bagaimana menata keadilan dalam mengabulkan doa-doa yang semuanya memojokkan Anda?
Kalau memakai pola pemikiran linier, maka doa kesebelasan manapun yang Anda kabulkan, pasti selalu mengandung unsur ketidakadilan. Kalau Anda mengabulkan doa A, Anda menyakiti B. Demikian pula kalau Anda mengabulkan harapan B, Anda menghancurkan hati A. Bahkan kehancuran itu bisa berupa kematian. Seorang Ibu pendukung kesebelasan Cina meninggal karena gawangnya digedor-gedor habis oleh kesebelasan ‘agama’ sepakbola, yakni Brazil. Seorang Ibu Argentina menyaksikan kesebelasannya bertanding sambil membawa rosario di tangan kirinya dan Kitab di tangan kanannya – kemudian ternyata Argentina angkat koper gulung tikar.
Maka sesungguhnya yang harus diperkarakan, dipikir ulang, dibenahi benar-tidaknya – adalah konsep dan filosofi tentang kemenangan dan kekalahan. Anda yang berpikiran linier-sekuler dan meyakini hidup di dunia adalah segala-galanya, berbeda dengan Anda yang memiliki perspektif dunia-akhirat, pola horizontal-vertikal, yang menemukan bahwa menang kalah di dunia bukan akhir segala-galanya. Yang potensial untuk frustrasi dan stress adalah Anda yang pertama. Tetapi Anda yang kedua, juga potensial untuk naïf, fatal dan pasif dalam perjuangan hidup.
Seorang yang sejak awal memasuki atmosfir Piala Dunia dengan menjagokan Perancis, pagi-pagi sudah harus kukut, dan setap pertandingan sesudah Perancis hancur menjadi sepo dan tidak menarik. Anda yang terlalu pecaya kepada kegagahan, kehebatan dan keunggulan – tidak bisa mengerti kenapa Belanda tak bisa masuk ke Piala Dunia sementara Belgia, tetangganya sesama Benelux, malah lancar. Mungkin Anda mencoba memaafkan bahwa pabrik pemain, Ayax Amsterdam, memang sedang berada pada periode nadir dari produksi dan kreativitasnya, sehingga Belanda kekurangan stok.
Untung Italia tertolong. Tetapi susah payahnya kesebelasan pusat football market ini memberi memberi pelajaran kepada kita tentang kasunyatan bahwa yang popular tidak pasti lebih hebat dibanding yang tak pernah disebut-sebut. Bahwa yang diungguh-unggulkan di media massa tidak pasti berkapasitas Nabi yang punya mukjizat dan pasti menang. Ayatnya berbunyi : ‘Asa an takrohu syai-an wa huwa khoirul lakum, wa ‘asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrul lakum…’.
Sesuatu, figure, kelompok, tokoh, tim, atau apapun yang kau tak sukai mungkin justru itu yang sesungguhnya kau butuhkan. Sementara yang engkau junjung-junjung sebenarnya ia yang mencelakakanmu. Kalau boleh mengingatkan, hal inilah yang memperpanjang kehancuran Indonesia…
Halo Zidan, hai Figo, hee Batistuta…pada hakekatnya kekalahan adalah setinggi-tinggi ilmu pengetahuan. Untuk mengalami kemenangan, tak membutuhkan persiapan mental sejauh dan seberat mengalami kekalahan. Banyak orang lemah yang hanya bisa percaya diri hidupnya kalau ia punya kekayaan. Begitu ia miskin, hancur hatinya. Sementara ada puluhan juta orang kuat yang meskipun hidupnya miskin tetap bisa bahagia dan ceria. Demikianlah banyak orang-orang lemah yang untuk bisa hidup ia membutuhkan jabatan, butuh menyakiti orang lain, butuh mengungguli orang lain, butuh menang atas orang lain, butuh menjadi pejabat, butuh menjadi direktur, butuh menjadi sarjana dan doctor. Kalau mereka tak memiliki itu semua, hancur hatinya.
Terpaksa saya bercerita tentang hati saya. Demi Allah, saya tidak membutuhkan kemenangan atas siapapun saja kecuali atas diri saya sendiri. Menang saja saya tak mau, apalagi kalah.
Anda dan saya bisa hidup tenang bahagia gembira cukup dengan menjadi rakyat biasa, yang tidak kaya, tidak punya gelar dan jabatan. Anda menjadi rakyat saja berani, apalagi sekedar menjadi Presiden.(Emha Ainun Nadjib, Juni 2002).
Kamis, 09 Juni 2011
NIKMATNYA KEKALAHAN
Dipostkan oleh Andrex Tohjaya di 07.40 0 komentar
Jumat, 08 April 2011
Padhang-mbulan : Peran Sunan Kalijaga untuk Indonesia Baru

“Saat ini, diperlukan tak hanya Sunan Kalijaga, tapi Sunan Kalijaga plus untuk memperbaiki Republik Indonesia. Hal ini terkait dengan kondisi Indonesia yang semakin hari tidak semakin baik, bahkan semakin berada pada ambang kehancuran. Gak diapak-apakno, Indonesia iku bakal hancur dewe. Sama seperti keadaan Majapahit zaman dahulu.” Demikian ditegaskan oleh Cak Nun pada padhang mbulan lalu (23/09).
“Sama sekali tidak benar jika hancurnya Majapahit karena diserbu oleh Demak. Sebab, tanpa diserbu sekalipun, Majapahit akan hancur dengan sendirinya. Kehancuran Majapahit lebih disebabkan oleh kondisinya sebagai Negara Kesatuan yang sebenarnya pesisir, tapi pusat ibukotanya berada di pedalaman dengan basis ekonominya pertanian. Sedangkan waktu itu sedang terjadi keretakan lempengan bumi dan semburan lumpur di daerah Canggu sekitar 1450-an,” Cak Nun menambahkan.
Atas dasar itulah, Sunan Ampel akhirnya mengutus kepada Sunan Kalijaga untuk membantu Majapahit yang berada di ambang kehancuran. Majapahit sendiri bersedia menerima karena Sunan Kalijaga membantu Majapahit di akhir-akhir kekuasaannya dari serbuan Kerajaan Kediri yang diperintah Prabu Girindrawardana. Oleh Sunan Kalijaga, Majapahit diajak melakukan transformasi dari Negara Kesatuan Mojopahit berbasis pertanian menuju Negara Demak Federal di Daerah Glagah Wangi yang merupakan Negara Federasi berbasis ekonomi internasional maritim perdagangan.
Putra-putra Prabu Brawijaya pun diserahi kekuasaan sendiri yang disebut dengan Tanah Perdikan dengan gelar Ki Gede atau Ki Ageng. Mulai dari Ki Ageng Mangir, Ki Gede Menoreh, dan lain-lain. Kekuasan yang diberikan kepada putra-putra Brawijaya meliputi NTB hingga Denpasar, Madura, Pamekasan, Sumenep, Makasar, Borneo, sampai Palembang. Semuanya memang putra Brawijaya yang berjumlah 147 orang. Dari Betoro Katong Ponorogo, Syech Bela Belu Parangtritis, Ki Ageng Mangir Yogja Selatan, Handayaningrat, Prabu Denpasar, dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan transformasi dari Majapahit sebagai hasil reformasi yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Ketika disuruh oleh Sunan Ampel agar mengatasi masalah yang ada di Majapahit, Sunan Kalijaga berpendapat, bahwa Majapahit tidak akan bisa menerima kehancuran jika tidak mengenal nilai-nilai islam. Sebab, hanya orang-orang yang mengenal nilai-nilai tasawuf islamlah yang akan terhindar dari kehancuran. Didalam tasawuf tidak ada kehancuran, apalagi hanya sekedar penderitaan. Maka, jalan satu-satunya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah “mengislamkan” Majapahit agar memiliki sikap hidup dan pandangan yang berbeda.
Yang pertama kali didakwai agar mengenal islam adalah TNInya Majapahit, yaitu Empu Supo dan anaknya Supo Anom, lantas DPR/MPRnya, baru kemudian keluarga istana dan anak-anaknya, meskipun pada tahap ini ada beberapa orang yang tidak bersedia masuk islam, yang kemudian pergi ke daerah selatan. Intinya, sebagai konsekuensi dari dakwahnya Sunan Kalijaga adalah terbentuknya tiga golongan dengan sikap dan paradigma yang berbeda.
Golongan pertama adalah golongan santri yang berjumlah sekitar 3000 orang. Oleh Sunan Kalijaga, golongan pertama ini diantarkan pergi ke daerah utara mulai Mojoagung hingga Demak dengan dikawal oleh Sunan Kudus. Sementara golongan kedua adalah Golongan Tengah, yaitu keluarga istana dan para kerabatnya. Berbeda dengan golongan pertama, untuk golongan tengah ini adalah islam abangan yang bersedia masuk islam tapi tidak mau berpakaian islam karena pertimbangan budaya. Bersedia naik haji tapi juga korupsi. Selingkuh, tapi kalau mati juga ditahlili, dan lain sebagainya. Golongan tengah ini dipimpin sendiri oleh Sunan Kalijaga dibawa ke Ngawi, yang kemudian disebut Mukswa.
Setelah beres dua golongan itu, Sunan Kalijaga kemudian tidak lantas membiarkan golongan ketiga yang pergi ke selatan karena tidak bersedia masuk islam, yang didalamnya juga terdapat adik dan anak-anak Prabu Brawijaya V. Golongan ketiga inilah yang disebut Sabdopalon Noyogenggong yang berjanji 500 tahun lagi akan kembali, meskipun hingga saat ini tidak ada kejadian apa-apa, pergi ke daerah Denpasar hingga Purwakarta. Oleh Sunan Kalijaga, Golongan ketiga ini didatangi satu persatu dalam waktu yang cukup lama, meskipun pada tahap itu tidak semuanya berhasil.
Sedemikian berat dan berliku tugas yang diemban oleh Sunan Kalijaga itupun gagal. Gagal dalam arti, bahwa Demak yang semula digadang-gadang bisa merepresentasikan dirinya sebagai kerajaan pesisir dibawah sinar islam dengan bimbingan wali sanga ternyata tidak berumur panjang karena perebutan kekuasaan dan pertarungan intern diantara umat islam sendiri. Dari Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat, Arya Penangsang, Mas Karebet atau Sultan Hadiwijaya, dan lain sebagainya. Arya Penangsang itu muridnya Sunan Kudus, sedangkan Mas Karebet muridnya Sunan Kalijaga.
Karena hal tersebut, Demak yang merupakan kerajaan pesisir bergeser ke pedalaman lagi menuju Pajang, hingga Mataram. Ketika berada di Mataram, Sunan Kalijaga sudah sangat tua, sehingga yang merupakan murid Sunan Kalijaga langsung adalah bapaknya Sutowijoyo, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan temannya yang strategi perang, yaitu Ki Mondoroko atau Ki Juru Mertani. Sedangkan Raja Mataram yang pertama, yaitu Panembahan Senopati bukan murid Sunan Kalijaga langsung, meskipun berada pada aliran yang sama.
Alhasil, disitulah lahir Republik Indonesia. Yaitu situasi dimana terjadi kegagalan menangani konflik sehingga Demak bergeser ke tengah lagi di daerah Kertasura (Pajang), bergeser lebih ke selatan ke Yogjakarta, yaitu di Kota Gede. Maka bisa dimengerti kalau kemudian konsep tentang walisongo mulai ditinggalkan digantikan Nyai Roro Kidul. Bahkan, sampai hari ini, Presiden Indonesia pun tetap memakai konsep yang sama. Yaitu tetap ke wali, meskipun pada saat yang sama juga ke penguasa Pantai Selatan. Sejak Panembahan Senopati inilah, Islam abangan mendapat legitimasi secara peradaban jawa.
Tak ada jalan lain, hari-hari ini diperlukan Sunan Kalijaga lagi untuk membawa Indonesia yang kesatuan menuju Demak yang federal berbasis maritim perdagangan. Sampai 2014 keatas harus benar-benar ada peran seperti Sunan Kalijaga, bahkan lebih, yaitu Sunan Kalijaga plus yang tidak anti Nyai Roro Kidul, yang akan menyelamatkan Indonesia dari kehancuran.
Lantas, sebuah pertanyaan yang patut untuk untuk menjadi perenungan bersama. Siapa dan dimanakah Sunan Kalijaga itu sekarang berada? (*).
oleh : Em Syuhada. Sebagian transkrip rekaman padhangmbulan (23/09).
Dipostkan oleh Andrex Tohjaya di 02.06 0 komentar
