BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 14 Juni 2010

Diorama Kelam


Malam itu beda dengan malam-malam biasanya. Awan hitam bergulung-gulung lebat menutup gemerlap bintang yang bertaburan di angkasa dan senyum sang rembulan. "Ah, hujan akan segera turun malam ini", pikirku. Dan benar saja, air pun mulai turun membasahi kegersangan tanah yang sedari siang tadi di sinari oleh sang mentari. Sejenak terdiam, terhenyak ketika suara guntur bergemuruh dari atas sana berhiaskan kerlipan kilat-kilat yang bersahut-sahutan.

*****

Hujan datang, berharap air juga menyirami kegersangan hati dan pikiran hari itu. Rintik-rintik air yang berkilauan karena sentuhan cahaya lampu penerangan jalan pun membawaku ke alam yang "seharusnya" aku tinggalkan, aku lupakan dan aku buang. Tapi hati berkata lain, dia menyuruhku tuk menyusuri kembali jejak-jejak kaki ini kulangkahkan.

*****

Satu persatu kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang membawaku sampai di sini pun mulai terlihat jelas di mata. Bagai diajak kembali tuk merasakan apa yang kurasakan saat itu.

*****

Diorama-diorama kepahitan yang dominan mewarnai napak tilasku tadi. Sampai saat kutemui sesosok wanita paruh baya yang begitu tegar menghadapi tidak saja himpitan-himpitan hidup, namun tetap kokoh ketika dihantam badai kehidupan yang serasa tak berkesudahan. Air mata ini pun sudah sampai ujung pelupuk mata, bahkan tak kuasa lagi aku tuk menahannya. Malam itu pun hujan serasa bertambah deras karena air mataku berjatuhan tak tertahan lagi.

*****

Kulanjutkan langkah kaki ini melewati wanita paruh baya tadi, tp bukan untuk meninggalkannya. Kutelusuri sebab musabab wanita tadi menangis. Sampailah pada suatu tempat di mana aku tidak bisa lagi menahan amarahku ketika kutemukan pemilik tangan yang menancapkan pisau belati ke wanita tadi dari belakang hingga menyayat-nyayatnya.

*****

Hatiku bergejolak, perasaanku terkoyak dan otakku pun jadi tumpul serta amarahku tak terkendali lagi, sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali mencabut pisau dari wanita itu dan kemudian berusaha menancapkan ke arah pemilik tangan tadi, atau bahkan akan kusayat-sayat lebih dari apa yang telah dia lakukan terhadap wanita itu.

*****

Namun kali ini gelegar guntur seolah mengejutkanku, tp yang lebih mengejutkanku adalah ketika sebuah tangan halus menarik lenganku sembari berbisik lembut agar aku mengurungkan niatku tadi. Langkahku pun terhenti dan pelan-pelan kutolehkan kepala kebelakang, serentak mataku terbelalak ketika kulihat sesosok wanita yang telah berlumuran darah, yang tak lain adalah wanita tadi yang telah menghalangiku tuk membalaskan sakit dan tangisannya.

*****

Sejenak terdiam tak bergerak dan tak berkata-kata ketika kembali wanita itu menggandengku dengan mesra untuk mengajakku meninggalkan orang tadi. Katanya : "Sudahlah, biar Tuhan yang membalasnya"!!

Aku tahu persis apa maksudnya. Tidak ada pilihan lain kecuali menuruti ajakan wanita itu. Aku tidak ingin menambah luka di hatinya hanya karena aku terlalu menuruti bara api dendam yang tlah hidup di hatiku. Dari wanita tadi aku belajar apa yang dinamakan kesabaran. Benar memang benar, "BIAR TUHAN YANG MEMBALASNYA, TUHAN MAHA ADIL". Pikirku, biarlah balasan ditimpakan TUHAN kepada dirinya atau keluarganya. Karena aku merasakan apa yang dirasakan oleh wanita itu. Bagai luka yang disiram air garam. Perih.........

*****

Dan tak terasa wanita tadi mengantarkanku kembali ke tempat aku melihat hujan malam itu. Hujan tlah reda namun air mataku belum kering seperti keringnya tanah yang disinari matahari tadi siang. Aku tak terlalu menghiraukan diriku, pandanganku masih tertuju pada wanita tadi. Meski senyum tlah mulai mengembang di bibirnya namun masih terlihat luka yang belum sembuh di hatinya.

0 komentar: